Pages

SEJARAH JUDO

SEJARAH JUDO

A.    Lahirnya Judo
Judo adalah salah satu cabang beladiri yang berasal dari Jepang dan telah menjadi olahraga populer di dunia saat ini. Judo diciptakan oleh Prifesssor Jigoro Kano atau Maha Guru Kano pada tahun 1882.
Judo yang diciptakan oleh almarhum Jigoro Kano tahun 1882 disebut juga “Nippon Den Kodokkan”. Untuk menjaga timbulnya aliran judo yang baru selain ciptaan Jigoro Kano maka dalam Anggaran Dasar Internasional Judo Federation (IJF) telah dicantumkan bahwa IJF mengakui hanya diciptakan oleh Jigoro Kano sebagai judo.
Jujitsu juga disebut Yawara atau Taijutsu. Jujitsu adalah sebagai induk dari judo, sebenarnya salah satu dari Bujutsu atau seni bela diri tradisional Jepang yaitu perkelahian tangan kosong. Sumber ilmu ini berasal dari suatu aduan tenaga pada zaman kuno di Jepang.
Jigoro Kano pada usia 18 tahun ingin menjadi kuat dengan cara mempelajari dua aliran jujitsu yaitu: 1. Tenjin Shinjo Ryu, dengan berguru pada Hachinosuke Fukude dan Masatomo Iso. 2. Kito Ryu, dengan berguru pada Tsenetoshi Iikubo. Selain mempelajari kedua aliran tersebut, beliau mempelajari juga  aliran-aliran lainnya dan mengumpulkan serta menyaring bagian-bagian yang baik dari setiap aliran.
            Bertahun-tahun beliau membandingkan dengan teori-teori dan mencoba dengan praktek dan berusaha supaya dapat dilakukan sebagai pengembleng rohani dan jasmani serta latihan untuk menentukan menang atau kalah.


B.      Maksud dan tujuan judo
            Kata judo pada mulanya ditulis dengan dua huruf cina atau kanji dibaca judo. Kata judo terdiri dari dua suku kata yaitu  Ju dan Do. Ju berati kelembutan atau gentleness atau memberi jalan atau giving way dan Do berarti jalan atau cara.Jadi judo berarti cara yang lembut atau halus .
            Arti kelembutan disini ialah apabila seseorang yang lebih kuat mendorong saya dengan seluruh kekuatannya dan saya melawan dengan kekuatan saya maka tentu saya akan kalah atau jatuh.Untuk bisa mengalahkannya,saya akan mundur atau melangkah kesamping sambil menarik orang tersebut searah dengan arah dorongannya sehingga dengan demikian orang tersebut akan kehilangan keseimbangannya,pada saat itulah saya dengan mudah dapat melempar atau membanting dia dengan satu teknik lemparan.
            Dengan olahraga judo,tujuan membanting lawan hanya sebagaisalah satu cara untuk mengalahkan atau memperoleh kemenangan sesuai peraturan permainan atau pertandingan ;lahraga judo yang telah ditentukan IJF , jadi bukan untuk menyakiti,mencederai atau menghancurkan lawan.

C.    Perkembangan Judo
Nama judo tidak lain dari jujitsu yang diubah.beliau berpendapat bahwa jujitsu dari dahulu kala tidak lebih dari satu bujutsu yang hanya melatih cara semacam penyerangn atau perlindungan saja. Tetapi judo yang disempurnakan dari jujitsu,walaupun bentuk randori dari kata serupa dalam cara latihan jujitsu tetapi yang menadi tujuan pokok atau utama judo ialah “Jalan Kebajikan“. Maka untuk mengembangkan Do daripada jutsu (teknik)maka beliau memberi nam Judo. Dan Dojo tempat berlatih judo diberi nama Kodokan.
Arti Kodokan adalah panti yang menggembleng jasmani dan rohani melalui latihan judo supaya nantinya dapat menjadi manusia yang dapat mendarma baktikan dirinya untuk masyarakat dan dunia .
Pada waktu Jigoro Kano berumur 23 tahun ,beliau mulai mengajarkan judo dan murid pertamanya hanya 9 orang .Tempat berlatih yang diberi nama Kodokan Judo didirikan di Eisyoji,Kitainari Shintaya di Tokyo dengan dojo yang terdiri hanya 12 lembara tatami.Sejalan dengan perkembangan dojo yang dari hari ke hari muridnya brtambah banyak serta kemahiran murid – muridnya juga sangat maju dan memperlohatkan prestasi yang tinggi dalam pertandinga –pertandingan .      
Kehadiran judo sebagai bela diri baru, mengakibatkan banyak jago – jago atau pendekar – pendekar jujitsu yang kurang senag dan menantang murid – murid Jigoro Kano untuk bertanding atau duel. Pada suatu hari ajakan jago – jago jujitsu diterima oleh pejudo – pejudo Jigoro Kano antara lain Shiro Saigo dan sakujiro Yokoyama untuk bertanding atau duel dan hasilnya dimenangkan oleh para pejudo.Sejak pristiwa tersebut kehadiran judo mulai diakui,judo dan juitsu menjadi bersatu dan saling menghormati.
Pada tahun 1911,Jigoro Kano mendirikan Persatuan Olahraga Nasional Jepang dan terpilih menjadi ketua, kemudian dipilih lagi menjadi pengurus IOC.Beliau sering mengunjungi Eropa dan Amerika dan pada setiap kesempatan ia memperkenalkan Judo diberbagai negara. Murid – murid beliau juga banyak yang berjasa mengembangkan Judo keberbagai negara sehingga tidak ada lagi yang tidak mengenal  Judo di dunia.
Di Jepang Judo dipelajari disekolah – sekolah kemudian menadi mata pelajaran. Judo juga dipelajari di Sekolah Polisi sebagai salah satu pendidikan untuk melatih fisik,mental dan beladiri.
D.    Olahraga Judo di Indonesia
Judo mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1942 ketika tentara Jepang mulai menjajah Indonesia . Pada hari – hari tertentu tentara Jepang berlatih Judo dilingkungan asramanya. Lama kelamaan mereka bergaul dan bersahabat dengan orang – orang Indonesia dan mengajak berlatih judo. Karena tempat latihan adanya hanya dilingkungan asrama tentara Jepang, teman yang diajak belajar judo betul – betul selektif, jangan sampai membahayakan mereka.
Pada tahun 1949 berdiri perkumpulan judo peertama di Jakarta bernama  “Jigoro Kano Kwai “ yang dipimpin oleh J.D. Schilder (orang Belanda ).Perkumpulan tersebut berlatih di Gedung YMCA ,Jalan Nusantara ,Jakarta.Anggota perkumpulan judo terdiri dari berbagai lapisan antara lain pelajar,mahasiswa,umum,ABRI,anak – anak,dewasa,pria dan wanita.Selain belajar judo mereka juga belajar jujitsu.
Tahun 1951 berdiri pula perkumpulan judo di kota Medan yang dipimpin oleh orang Jepang bernama Moriwa Wada,tingkatan judo dan 4 dengan nama perkumpulan Jigoro Kano Kwai Medan. Di Surabaya berdiri pila perkumpulan yang dipimpin oleh Soichi Makino dengan nama Indonesia Umar  (Dan V )kemudian dilanjutkan oleh G.W.Pantow.
Pada tanggal 20 Mei 1955 di Bandung ,didirikan  perkumpulan judo yang diberi nama Judo Institut Bandung (J|IB )oleh Letkol.TNI.abbas Soeriadinata,Mayor TNI.Uluk Wartadiredja,Letkol TNI.D. Pudarto, Pouw Tek Siang dengan pelatih T. Oki Supriadi (Jepang ).
Tahun 1955 tepatnya pada tanggal 25 Desember 1955,dibentuk organisasi judo Indonesia yang diberi nama Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI ),sebagai organisasi judo tertinggi di Indonesia yang mengatur atau mengelola kegiatan judo secara Nasional dan Internasional. Pada tahun itu juga PJSI telah diakui oleh Komite Olympiade Indonesia sebagai Top Organisasi Judo Indonesia.

SOSIOLOGI OLAHRAGA

             BAB  I
    PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kemajuan di Era global ini, bukan hanya masalah kepentingan Negara yang menjadi politik. Tetapi dalam Olahraga pun sudah di jadikan bahan politik, misalnya demi kemenangan sebuah tim sepak bola, seorang manager atau pengurus rela mengeluarkan kocek sampai bermiliar Rupiah untuk menyogok wasit agar berpihak kepada meraka dan memberi kemenagan untuk sebuah gengsi dan kekuasaan.
1.2  Identifikasi Masala
Fair play dalam olahraga/sepak bola sudah tidak di utamakan, semua sudah terdoktrin oleh uang demi kepentingan gengsi dan kekuasaan  tanpa memperdulikan dampak terhadap orang lain dan perkebangan olahraga/sepak bola di masa depan.
1.3  Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.      Memaparkan pengkembangan politik sepak bola.
2.      Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Olahraga
3.      Menambah wawasan bagi penulis.

















1.3   Batasan Masalah
Karena banyaknya permasalahan-permasalahan yang muncul, maka makalah ini hanya akan membahas tentang Sosiologi olahraga, yaitu Hubungan Olahraga dengan Politi ( Sepak bola dan Uang).
1.4  Sistematika Penulisan
Agar makalah ini mudah dipahami pembaca, maka penulis membuat sistematika penulisan makalah sebagai berikat :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisikan latar belakang mengenai Sosiologi Olahraga, identifikasi masalah, tujuan dibuatnya makalah, pembatasan masalah, dan sistemtika penulisan.


BAB II PEMBAHASAN

 Sosiologi Olahraga, Hubungan Olahraga dengan Politik ( Sepak bola Dan Uang ) yang sekarang marak di Indonesia.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran merupakan Bab terakhir yang berdasarkan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran-saran yang memotivasi.










BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Olahraga dan Politik

olahraga dan politik bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, bukan hanya dengan  politik. Sebab olahraga memiliki multimakna, yaitu sosial, ekonomi, politik atau ideologi, dan kesehatan.
seorang politikus sejati haruslah serentak merupakan simbol kejantanan sportif. Sedangkan bagi kaum sosialis, olahraga adalah manifestasi penting semangat ideal kolektivisme yang rasional dan higienis.
Jadi, dari pertalian antara olahraga dan politik atau ideologi, sudah tampak betapa olahraga dalam peradaban modern, bukan lagi sekadar kegiatan yang netral, melainkan kental sekali kandungan multimakna itu, bahkan sudah tidak terlihat makna olahraga itu sendiri setelah semuanya terbaur oleh politik, yang ada hanyalah manipulasi sebuah kepuasan pribadi.


1.2  Antara Sepak bola dengan Uang, Gengsi dan Kekuasaan
Tulisan ini memfokuskan diri pada sepakbola, dengan lebih menitik beratkan pada politik, terutama politik demokratik. Artinya, sepakbola bukan sekadar olahraga, melainkan telah lama menjadi alat politik sekaligus inspirasi dan pembelajaran dalam berpolitik. Dengan kata lain, sepakbola dalam perkembangannya bukan hanya sebagai alat politik atau legitimasi politik kekuasaan, seperti diktator Franco di Spanyol yang konon pernah memanfaatkan klub sepak bola Real Madrid sebagai alat legitimasi kekuasaannya, Mussolini pada Piala Dunia 1934 yang memaksakan Piala Dunia harus dilaksanakan di Italia dan klubnya harus “menang atau mati”.
Atau misalkan club sepak bola di Italia, demi kemenangan sebuah tim sepak bola, seorang manager atau pengurus rela mengeluarkan kocek sampai bermiliar Dolar untuk menyogok wasit agar berpihak kepada meraka dan memberi kemenagan untuk sebuah gengsi dan kekuasaan.
Tetapi Sepak bola juga sebagai media pembelajaran politik demokratik, terutama yang bertalian dengan politisi dan konstituennya.
Sepakbola dan demokrasi. Bila dilihat lebih dalam, sepakbola memang mengajarkan banyak hal tentang politik, strategi memenangkan pertarungan politik, dan keterlibatan publik di dalamnya, atau yang biasa disebut demokrasi. Dalam demokrasi, yang didahulukan adalah kepentingan umum atau kepentingan bersama, kemudian barulah kepentingan pribadi atau kelompok. Tujuan utama demokrasi adalah menciptakan ruang bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Demikian juga dalam sepak bola, sebagai sebuah permainan tim. Dalam sepakbola, yang diutamakan adalah kebersamaan sebagai sebuah tim, setelah itu pribadi. Pertandingan sepakbola antar bangsa, misalnya, yang didahulukan adalah kepentingan dan kehormatan bangsa dan negara, kemudian baru kepentingan pribadi atau klub. Apabila dalam politik, partai politik adalah arena atau lapangan politik milik rakyat dalam membangun demokrasi, maka dalam sepakbola, lapangan hijau menjadi “lapangan politik” milik rakyat untuk membangun kepentingan bersama. Dalam hal ini, sepakbola dapat mengajarkan bagaimana seharusnya sebuah pementasan arena politik partai dan para pendukungnya dalam menjalankan tugas politiknya, yakni fair play.



1.3  Politik Sepak bola di Indonesia

Dualisme PSSI.
PSSI di bawah ketua umum yang baru La Nyalla Mattaliti, yang terpilih pada KLB Ancol, Jakarta, masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan FIFA. Adanya dualisme kepemimpinan di PSSI ini, sudah jelas bagaimana politik sepak bola yang sangat kacau dan semua menyayangkan hal ini, karena tidak bagus bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Sangat terlihatlah perpecahan dalam sepak bola Indonesia, karna sebuah keegoisan seorang pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Apabila kita ketahui makna dalam sepak bola itu sendiri adalah Sepak bola bisa menjadi pemersatu karena unsur-unsur di dalamnya, seperti sikap mau bekerja sama, gotong-royong, dan rela menanggalkan sikap egois untuk bersatu padu dalam tim agar tercapai tujuan bersama. Dalam sebuah pertandingan, tujuannya tentu kemenangan.
Sepak bola juga mengajarkan kita untuk berjiwa besar, mau menerima kekalahan dengan lapang dada. Sementara bagi pemenang, juga tetap menghormati tim yang kalah dengan tidak melakukan tindakan mencemooh, dan melecehkan. Inilah sebuah nilai sportivitas. Nilai-nilai persahabatan yang ada di sepak bola seharusnya bisa diterapkan dalam kehidupan keseharian kita.
Kekuatan sepak bola begitu dahsyat, sepak bola sebagai permainan yang sangat digemari. Hampir di setiap kecamatan, kota dan kabupaten memiliki klub sepak bola. Orang  akan melupakan perpecahan, pertengkaran atau persoalan hidup lainnya untuk bersatu dalam mendukung timnas sepak bola yang tengah bertanding. Orang berbondong-bondong datang ke stadion, menonton televisi, seperti yang terjadi dalam ajang Piala AFF dan SEA Games 2011 lalu, untuk mendukung timnas. Begitu hebatnya magnit sepak bola. Inilah yang bisa dikatakan sepak bola sebagai alat pemersatu bangsa.
Harapan pecinta sepak bola di Tanah Air begitu tinggi terhadap prestasi timnas. Namun, PSSI bukannya memenuhi harapan itu, tapi malah menjadikan sepak bola kacau. Kini semua menjadi bias dan abu-abu. Sepak bola yang seharusnya bisa menjadi pemersatu, kini terkoyak oleh kepentingan-kepentingan pribadi para kepengurusan atau pemimpin yang di namakan PSSI.
Unsur sportivitas, persahabatan dan kerja sama tak lagi diindahkan. Yang justru timbul dan tampak di depan mata adalah perpecahan, perselisihan,keegoisan, kekuasaan dan gengsi yang entah sampai kapan akan berakhir.
Dan akibat kisruh yang terjadi di PSSI saat ini bisa menurunkan animo masyarakat terhadap sepak bola nasional. investor pun tentu akan berpikir panjang untuk ikut aktif mendukung kegiatan sepak bola. Animo sponsor jadi menurun. Lihat saja, beberapa pertandingan liga di Indonesia, tak banyak sponsor yang mendukung.




































BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
      Fair play dalam olahraga/sepak bola sudah tidak di utamakan, semua sudah terdoktrin oleh uang demi kepentingan gengsi dan kekuasaan  tanpa memperdulikan dampak terhadap orang lain dan perkebangan olahraga/sepak bola di masa depan.


3.2 Saran
      Penulis berharap untuk pembuatan makalah kedepannya akan semakin baik lagi. Untuk pembaca yang ingin memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun, dapat disampaikan langsung ke penulis.



                                                                                                                                                         

MAKALAH TENIS MEJA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah Tenis Meja
Sejarah Tenis Meja Indonesia
Permainan tenis meja di Indonesia baru dikenal pada tahun 1930. Pada masa itu hanya dilakukan di balai-balai pertemuan orang-orang Belanda sebagi suatu permainan rekreasi.Hanya golongan tertentu saja dari golongan pribumi yang boleh ikut latihan, antara lain keluarga pamong yang menjadi anggota dari balai pertemuan tersebut.Sebelum perang dunia ke II pecah, tepatnya tahun 1939, tokoh-tokoh pertenismejaan mendirikan PPPSI (Persatuan Ping Pong Seluruh Indonesia).Pada tahun 1958 dalam kongresnya di Surakarta PPPSI mengalami perubahan nama menjadi PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia).
Tahun 1960 PTMSI elah menjadi anggota federasi tenis meja Asia, yaitu TTFA (Table Tennis Federation of Asia).Perkembangan tenis meja di Indonesia sejak berdirinya PPPSI hingga sekarang bisa dikatakan cukup pesati. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perkumpulan-perkumpulan tenis meja yang berdiri, serta banyaknya pertandingan tenis meja yang dilakukan, misalnya dalam arena : PORDA, PON, POMDA, POSENI di tingkat SD, SLTP, SLTA serta pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan oleh perkumpulan-perkumpulan tenis meja, instansi pemerintah atau swasta atau karang taruna dll.Indonesia selalu di undang dalam kejuaraan-kejuaraan dunia resmi setelah Indonesia terdaftar sebagai anggota ITTF pada tahun 1961.Selain kegiatan-kegiatan pertandingan tersebut, hal lain yang patut dicatat dalam perkembangan pertenismejaan nasional adalah berdirinya Silatama (Sirkuit Laga Tenis Meja Utama) yang dimulai pada awal tahun 1983, yang diiselenggarakan setiap 3 bulan sekali serta Silataruna yang kegiatannya dimulai sejak 1986 setiap 6 bulan sekali.


Dalam perkembangan yang sangat pesat, para pengemar olahraga tennis meja dituntut untuk mempelajari dan menganalisa kepesatannya lebih mendalam hingga ke detil-detilnya. Dengan demikian, kita akan mengetahuio cara-cara terbaru yang akan membawa para pemain meningkatkan mutu teknik bermain dan bertanding yang akan menuju kea rah keberhasilan. Kita tentu sependapat bahwa tingkat kesempurnaan hanya akan terwujud melalui system latihan yang penuh disiplin disertai keteguhan hati dalam meraih kesuksesan.
Bermain tennis meja ada dua tenaga yang paling mendasar; yang satu adalah tenaga pukulan membentur bola yamg lebih di kenal dengan sebutan memukul, dan yang satunya lagi adalah tenga pergesekan yang lebih di kenal dengan sebutan mengesek bola. Selain bola yang tinggi dekat net., dapat di pukul secara ringkas, memukul bola-bola yang lainya harus dilengkapi dengan gesekan. Apabila diuraikan, di sini mengandung dua arti:
         I.            pada saat pukulan half volley, yang diutamakan adalah pukulan, sedangkan pergesekan hanya merupakan factor penunjang. Memukul dapat menambah kecepatan dan tenaga bola, mengesek dapat menimbulkan bola berputaran atas (topspin). Putaran atas berguna untuk menciptakan garis kurva yang sesuai dengan pukulan.
      II.            Pada saat menciptakan putaran seperti bola loop drive, haruslah mengutamakan pergesekan. Akan tetapi, mengejar tuntutan pergesekan secara monoton malah akan berakibat sebaliknya. Gesekan akan terlalu tipis, menyebabkan kurangnya kurangnya tenaga putaran bola dan sulit untuk mengorbitkan bola yang berputaran dua.





BAB II
TEHNIK DAN PERATURAN TENIS MEJA
A. Tehnik Tenis Meja
Sepuluh Perintah Tennis Meja
1. Gaya bermain apa saja yang Anda inginkan. Jangan biarkan orang lain mendikte bagaimana anda harus bermain, tetapi dengarkan nasihat untuk memperbaikinya. Gaya anda bisa menjadi perpanjangan dari kepribadian Anda. Semakin banyak memiliki gaya permainan, semakin kaya akan variasi, bawa sesuatu ke permainan. Jadilah diri sendiri.
2. Bermain dengan peralatan apapun yang anda inginkan, tetapi seharusnya tidak membatasi pilihan taktis anda atau pilihan lainnya. Gunakan peralatan yang anda bisa dan harus bisa dgn cara memainkan peralatan lainnya. Eksperimentasi adalah kunci.
3. Mengembangkan taktik-taktik dari counter, serve, poin, pertandingan, peralatan lawan, gaya dari lawan, perilaku lawan, taktik lawan, apapun. Berpikirlah sebelum, selama dan setelah bermain. Be smart.
4. Menghormati orang lain.Adalah cara untuk menjadi dihormati. Jangan menggunakan taktik untuk kecewa, ketakutan atau mengganggu lawan, disetiap point. bermainlah jika seseorang meminta anda untuk bermain. Cobalah untuk bersenang-senang dan biarkan orang lain yang memiliki rasa senang juga. Memberikan nasihat dan membantu pemain lain. dan memberikan respect. Be a Gentle
5. Belajar untuk menang dan belajar untuk kalah, biasakan diri anda menerima kesalahan dan keterbatasan dan kekurangan tehnik anda, jangan mengeluh ketika anda kalah. Anda kalah karena anda tidak menerima kekalahan tersebut. Be modest..!!
6. Tidak ada keberuntungan, coba tempatkan bola anda persis jatuh didepan net atau diujung2 meja..maka anda akan terbiasa dengan pukulan2 itu…begitu pula dengan lawan anda, jika pukulan mereka menyentuh net atau ditepi meja..coba lah untuk tetap focus mengembalikan bola dari mereka…tetap focus..!!
7. Meningkatkan gaya dan teknik. Memperbaiki kelemahan anda lebih mudah daripada meningkatkan kekuatan Anda, dan ingat bahwa lawan yang pintar akan melihat pada tiap2 kelemahan. Pertama memutuskan untuk melatih apa, mengapa dan bagaimana Anda akan melakukannya, kemudian latihlah.
Belajar untuk rally.
8. Aturan dan peralatan akan berubah, sehingga gaya tertentu atau peralatan dapat diistimewakan. Jika anda bisa berubah kapan saja, anda juga dapat menerima perubahan dan mereka yang bermain di beberapa kekurangan, seperti Gaya yang kurang disukai, atau bahkan dirugikan oleh peraturan yakinlah masih bisa menang. Hanya diperlukan usaha yang lebih keras.
Jangan pernah merajuk..!!!.
9. Tidak ada peralatan yang tidak adil. Tidak ada gaya yang buruk dengan olahraga. Tidak ada pemain yang inferior atau superior dengan cara apapun, dan tentu saja anda tidak berhak untuk menghakimi seseorang. Tinggalkan semua olahraga jika Anda berpikir berbeda dari ini.
Don't be a fuckin 'nazi.
10. Satu-satunya hukum yg harus dihormati adalah peraturan ( the rules of the game ). Hal ini berarti bahwa satu-satunya cara menunjukkan permainan seharusnya mainkan. Bacalah, patuhi semua peraturan, dan lalu tegakkan. Cobalah untuk memanfaatkan aturan untuk keuntungan Anda.
But be legal.
Berikut langkah-langkah Dasar menuju keberhasilan Bermain Tenis Meja :
1. Menentukan Peralatan Tenis Meja
2. Lakukanlah Pemanahasan dan Pelemasan
3. Cara Memegang Bet dan Mengontrtol Bet
4. Posisi Siap Pukulan Porhand dan Backhand
5. Penepatan Kaki (bagaimana cara bergerak)
6. Permainan Spin
7. Dasar Pukulan (Chooping, pushing ; backspin, Bloking, Looping,Lobbing)
8. Servis dan kemudian ketingkatan selanjutnya
9. Tipe Permainan, Taktik Bermain dan Strategi
Peralatan Tenis Meja
Saya hanya membahas peralatan bet dan yang digunakan untuk permainan dengan Tipe Shakehands Grip, pilih lah Bet dengan mempertimbangkan cara memegang, tipe permainan, harga dan yang terasa enak dipakai. Sering pemula berpikir menggunakan Bet yang dapat memukul bola dengan cepat kelihatan Keren dan Hebat. Pendapat ini adalah Salah. Bet dengan bahan tertentu memiliki kecepatan yang tinggi memang keren namun sangat sulit untuk di Kontrol terlebih bagi pemain pemula. Pilih lah yang sedang speed and control nya dan biasanya bet standar ittf tertera ukuran kecepatan dan control dan pilih lah sebagaimana diatas tadi.
Cara Memegang Bet dan Mengontrtol Bet
Ketiaka cara memegang Bet anda tidak sempurna akan membuat pukulan anda tidak sempurnna pula. Contohnya anda bisa melakukan pukulan forhand yang sempurna dengan cara memegang bet yang tidak sempurna, tapi karena gerakan tubuh anda tidak akan mampu melakukan pukulan backhand dengan sempurna. Cara memegang yang buruk akan mengatasi perkembangan dan permainan anda. Lihat gambar cara pegangan yang sempurna :



B. Peraturan Tenis Meja
Peraturan atau aturan di dalam olah raga Tenis Meja
  1. Meja
Permukaan atas meja yang secara umum diistilahkan sebagai ” Playing surface” harus berbentuk segi empat dengan ukuran panjang 2,74 meter dan lebar 15,25 meter. Permukaan ini harus terletak horisontal pada ketinggian 760 mm di atas lantai.Permukaan atas meja dapat terbuat dari material apapun juga, asalkan kemungkinan pantulan bola setinggi 220 sampai 250 mm dengan menggunakan bola standar (sebaiknya yang jenis medium) dan dijatuhkan dari ketinggian 305 mm dari atas permukaan meja.Permukaan meja ini harus berwarna gelap, kalau mungkin hijau tua. Permukaan meja ini tidak boleh berkilat dan dibatasi dengan garis putih sebesar 20 mm di semua sisinya.
1. Garis putih yang membatasi lebar permukaan meja sepanjang 1,525 meter akan diberi nama ” batas akhir” (endlines)
2. Garis putih yang membatasi panjang permukaan meja sepanjang 2,74 meter akan diberi nama ” batas sisi” ( side lines).
Bagi permainan ganda, permukaan meja ini akan dibagi menjadi dua bagian dengan garis putih selebar 3 mm. Garis tengah ini pararel dengan batas sisi dan akan diberi nama ” batas tengah” ( centre line). Batas tengah yang sudah digambarkan secara permanen ini tak perlu dihapus apabila meja hendak dipakai untuk permainan tunggal.
  1. Net
a. Permukaan meja akan dibagi menjadi dua sisi dengan ukuran yang sama dengan perantaraan sebuah ” jaring” (net) yang pararel dengan batas akhir meja tersebut.
b. Net ini akan ditegangkan oleh tali yang diikat pada kedua belah sisi pada sebuah tiang penyangga setinggi 152,5 mm, sedangkan batas sisi dari kedua tiang penyangga harus berjarak 152,5 mm dari batas sisi permukaan meja.
c. Panjang net itu, beserta perpanjangnya di sisi kanan dan kiri harus berukuran : panjang 1.83 m sedangkan seluruh panjang tersebut, terhitung dari ujung atas net, harus berjarak 152,2 mm di atas permukaan meja.
  1. Bola
a. Bola harus berbentuk bulat, dengan diameter minimum 37,2 mm dan maksimum 28.2 mm.
b. Berat bola minimum harus 240 gram dan maksimum 2.54 gram.
c. Bola ini harus terbuat dari selulosa atau plastik lainnya yang sejenis dan harus berwarna putih atau king tanpa ada efek berkilat ( harus suram).
  1. Bet atau raket
a. Ukuran raket bebas, demikian juga bentuk dan beratnya.
b. Blade” ( bagian raket yang bundar, dengan maka kita memukul bola) harus terbuat dari kayu seluruhnya, rata tebalnya , datar dan kaku.
c. Bagian permukaan dari setiap sisi black tersebut, dipakai ataupun tidak dipakai untuk memukul bola, harus berwarna gelap suram setiap pinggiran atas hiasan dipinggir blade tidak berwarna putih atau berrefleksi.





BAB III
LAPANGAN TENIS MEJA
A. Ukuran Meja Tenis Meja
· Panjang = 274 cm
· Lebar = 152,5 cm
· Tebal garis sisi = 2 cm
· Tinggi meja dari lantai lapangan = 76 cm
· Luas = 4,1785 meter persegi
B. Tiang Net dan Jaring Net
· Panjang Net = 183 cm
· Lebar / Tinggi Net = 15,25 cm
· Jarak Meja Ke Tiang = 15,25 cm
· Luas Net = 0,279075 meter persegi
Di pinggir dan di tengah meja diberi garis. Umumnya warna dasar meja tenis meja adalah warna hijau dan untuk garis adalah putih. Tenis Meja = Table Tennis (internasional).


Ukuran lapangan tenis meja
BAB IV
KESIMPULAN

Dalam perkembangan yang sangat pesat, para pengemar olahraga tennis meja dituntut untuk mempelajari dan menganalisa kepesatannya lebih mendalam hingga ke detil-detilnya. Dengan demikian, kita akan mengetahuio cara-cara terbaru yang akan membawa para pemain meningkatkan mutu teknik bermain dan bertanding yang akan menuju kea rah keberhasilan. Kita tentu sependapat bahwa tingkat kesempurnaan hanya akan terwujud melalui system latihan yang penuh disiplin disertai keteguhan hati dalam meraih kesuksesan.
Bermain tennis meja ada dua tenaga yang paling mendasar; yang satu adalah tenaga pukulan membentur bola yamg lebih di kenal dengan sebutan memukul, dan yang satunya lagi adalah tenga pergesekan yang lebih di kenal dengan sebutan mengesek bola. Selain bola yang tinggi dekat net., dapat di pukul secara ringkas, memukul bola-bola yang lainya harus dilengkapi dengan gesekan

Cara Memegang Bet dan Mengontrtol Bet Ketiaka cara memegang Bet anda tidak sempurna akan membuat pukulan anda tidak sempurnna pula. Contohnya anda bisa melakukan pukulan forhand yang sempurna dengan cara memegang bet yang tidak sempurna, tapi karena gerakan tubuh anda tidak akan mampu melakukan pukulan backhand dengan sempurna.




Makalah Tentang Tenis Meja
Untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Tenis Meja




http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/79/Competitive_table_tennis.jpg/250px-Competitive_table_tennis.jpg


Disusun Oleh :
Dwi Purna Winadi
Annur Januar Fajrin
Abdul Furqon
Kelas : 3 C


PRODI PJKR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH
JL. RE. Martadinata no 150 tlp (0265) 776787 Ciamis



KATA PENGANTAR


Dengan mengucapkan alhamdulilah atas rahmat dan hidayahnya yang di berikan Allah SWT pada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Tenis Meja. Sebagai usaha untuk memingkatkan mutu dan kualitas lulusan fakultas ilmu pendidikan maka disusun makalah ini.

Dengan demikian penyuisun berharap dengan di susun makalah ini kualitas pendidik semakin meningkat, akan tetapi penyusun memerlukan masukan atau saran dan kritik dari pembaca, atas dukungannya baik berupa material atau pun moril penyusun mengucapkan banyak terimakasih.





                                                                                   

                                                                                                Penyusun,





PERAN GURU SEBAGAI MODEL

PERAN GURU SEBAGAI MODEL
DALAM PEMBELAJARAN KARAKTER DAN KEBAJIKAN MORAL
MELALUI PENDIDIKAN JASMANI

Abstract: The Teacher’s Role as a Model in Teaching Character and Moral
Virtues through Physical Education.
Problems of students’ bad character and morality always appear in the field of education. This may result from the fact that education in Indonesia emphasizes intellectual development only, while other aspects, such as personality, affective factors, and moral virtues, receive less attention. Schools and teachers actually play an important role and have a responsibility for students’ learning both in the cognitive and affective aspects. In other words, improvement of and emphasis on the cognitive aspect such as skills in reading, language, mathematics, and science aimed at preparing students to enter the global world should be balanced against the improvement of their affective aspect. This means that character building and moral virtue teaching must not be ignored.

Keywords: teacher as model, teaching character


PENDAHULUAN
Lembaga pendidikan dan guru dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan dinamika perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan masyarakat. Contoh, dekadensi moral dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan.
Kekerasan yang dilakukan pelajar kian memprihatinkan, seperti aksi premanisme yang dilakukan oleh pelajar yang tergabung dalam Geng Nero (Nekoneko dikeroyok), dan banyak lagi perilaku kekerasan lainnya. Geng Nero barangkali hanya salah satu potret dari sekian banyak geng yang ada di lingkungan masyarakat yang dilakukan oleh pelajar. Kejadian ini mungkin juga pernah dialami oleh sekolah-sekolah lain, namun tidak terekspos media massa.
Selain perilaku kekerasan, juga isu-isu moralitas di kalangan remaja, seperti penggunaan narkotika, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan-tindakan tersebut telah menjurus kepada tindakan kriminal. Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan.
Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual semata. Aspek-aspek yang lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Koesoema (Kompas, 1 Desember 2009) menegaskan bahwa integrasi pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional. Sekolah dan para guru memegang peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam pembelajaran siswa, tidak hanya ditunjukkan untuk memenuhi harapan agar kinerja siswa berhasil dalam aspek kognitif yang tercermin dari hasil tes dan tingkat kelulusan lebih tinggi dalam ujian nasional (UN), tetapi harus menekankan pada aspek afektif. Dengan kata lain, peningkatan dan penekanan pada aspek kognitif harus diimbangi dengan upaya peningkatan dalam aspek pengembangan afektif siswa atau dalam arti pendidikan karakter dan kebajikan moral juga tidak boleh diabaikan. Keadaan ini nampaknya sudah dipahami dan disadari pemerintah, dalam hal ini oleh Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Muhammad Nuh. Mendiknas menyatakan kerisauan dan kerinduan banyak pihak untuk kembali memperkuat pendidikan karakter dan budaya bangsa. Pemerintah bertekad untuk memperkuat karakter dan budaya bangsa tersebut melalui pendidikan di sekolah (Kompas, 15 Januari, 2010).
Ketika sekolah didirikan, salah satu misi utamanya adalah untuk mengajar kebajikan moral (Mondale & Patton, 2001; Mulkey, 1997). Banyaknya penyimpangan moral di kalangan anak-anak dan remaja saat ini menjadikan tugas guru dan perancang bidang pendidikan moral sangat rumit. Menurut Koesoema (2009:14), di tengah perubahan tata nilai dalam masyarakat yang begitu cepat, guru tetap dituntut untuk menjaga integritas dasarnya sebagai pendidik karakter. Artinya, dalam kondisi tersebut guru dituntut dan tetap konsisten dapat menegakkan dan membangun moral dan karakter yang baik bagi para peserta didik. Guru diharapkan untuk mengajar dan mendisiplinkan siswa sehingga dapat menghormati otoritas dan bertanggungjawab dalam menyelesaikan pelajaran. Hingga dewasa ini, tampaknya harapan-harapan ini pada dasarnya tetap tidak berubah. Guru memiliki peran yang sangat besar dan berpengaruh dalam kehidupan peserta didik, oleh karenanya masyarakat masih tetap berharap para guru untuk menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral, seperti keadilan, kejujuran, dan mematuhi kode etik profesional.
Sebuah kebajikan sosial dihargai secara sosial, sementara kebajikan moral, seperti kejujuran, dihargai secara moral. Menurut Lickona (1991), sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab.
Dalam tugasnya sebagai pendidik dan pengajar, guru berinteraksi dengan siswa, sangat penting bagi para guru untuk melayani dan berperan sebagai model pengembang karakter dengan membuat penilaian dan keputusan profesional yang didasarkan pada kebajikan sosial dan moral. Koesoema (2009:134) menegaskan bahwa terlepas dari berbagai macam posisi yang disandangnya, sadar atau tidak, perilaku dan tindakan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya merupakan wahana utama untuk pembelajaran karakter.
Seseorang yang berkarakter memiliki kebijaksanaan untuk mengetahui dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah; jujur, dapat dipercaya, adil, hormat, dan bertanggung jawab; mengakui dan belajar dari kesalahan; dan berkomitmen untuk hidup menurut prinsip-prinsip ini. Lickona (1991) menunjukkan bahwa karakter adalah penjelasan fenomena universal dari orang-orang yang memiliki keberanian dan keyakinan untuk hidup dengan kebajikan moral. Karakter mencakup berbuat sesuatu menjadi lebih baik dan melakukan yang benar, sementara perilaku tidak etis merupakan antitesis karakter. Setiap kali siswa terjebak dalam permainan emosi, seperti melukai orang lain atau berperilaku curang untuk menang dalam suatu lomba atau pertandingan, tidak akan menjadi baik atau melakukan hal yang tidak benar.
Demikian pula, jika siswa menyontek pada saat ujian atau menjiplak tulisan dari koran untuk mendapatkan nilai yang lebih baik, pada hakikatnya tidak memiliki karakter dan dasar moral yang esensial. Kajian-kajian ilmiah tentang perilaku tidak terpuji (amoral) yang dilakukan siswa dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat terbatas. Namun, di negara-negara maju seperti di Amerika sudah sangat berkembang, survei nasional yang dilakukan oleh The Ethics of American Youth, dari Josephson Institute of Ethics (2006), diketahui bahwa perilaku siswa dalam jangka waktu 12 bulan, yaitu (a) 82% mengakui bahwa mereka berbohong kepada orangtua; (b) 62% mengakui bahwa mereka berbohong kepada seorang guru tentang sesuatu yang signifikan; (c) 33% menjiplak tugas dari internet; (d) 60% menipu selama pelaksanaan ujian di sekolah; (e) 23% mencuri sesuatu dari orang tua atau kerabat lainnya; (e) 19% mencuri sesuatu dari seorang teman, dan (f) 28% mencuri sesuatu dari toko.
Erosi karakter dan perilaku tidak terpuji yang menerpa siswa sebagaimana tersebut di atas merupakan gejala umum yang berlaku di mana-mana, termasuk  di Indonesia. Sudah cukup banyak contoh dan perilaku tidak jujur yang dilakukan individu dalam dunia pendidikan, mulai dari siswa yang mencontek, menjiplak hasil karya orang lain tanpa menyertakan sumber, mencari-cari alasan untuk lari dari tanggung jawab atas tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru (Koesoema,2009:183). Kondisi ini menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan moral dan karakter pada para siswa. Namun di sisi lain perilaku tidak etis yang ditunjukkan oleh siswa tersebut bertolak belakang dengan tanggapannya yang mengakui dan percaya bahwa karakter itu penting.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) 98% berkata, “Sangat penting bagi saya untuk menjadi orang dengan karakter yang baik”; (b) 98% berkata, “Kejujuran dan kepercayaan sangat penting dalam hubungan pribadi”; (c) 97% berkata, “Ini penting bagi saya bahwa orang percaya padaku”; (d) 83% berkata, “Ini tidak layak untuk berbohong atau menipu karena bertentangan dengan karakter”. Dalam laporan tersebut juga disimpulkan bahwa semakin meluas dan mendalam perilaku kontradiktif yang terjadi mencerminkan sikap sinis siswa itu sendiri dalam proses rasionalisasi dengan cara mengabaikan kebenaran penilaian etika dan perilaku yang dinyatakan bertentangan dengan keyakinan moral (Josephson Institute of Ethics, 2006). Siswa menyatakan bahwa karakter itu penting, tetapi di sisi lain berbohong, menipu, dan mencuri. Tulisan ini ingin mencoba mengkaji bahwa model perilaku berbudi luhur yang diperankan guru melalui contoh-contoh dalam konteks pendidikan jasmani merupakan upaya yang dapat mengatasi terjadinya masalah tersebut.











GURU DAN PENGEMBANGAN KARAKTER
DALAM KONTEKS PENDIDIKAN JASMANI
Perkembangan Karakter melalui Pendidikan Jasmani

Solomon (1997) menyatakan bahwa konsep pengembangan afektif sebagai tujuan dari pendidikan melalui pendidikan jasmani sudah diperkenalkan lebih dari 160 tahun yang lalu. Pada 1831, merupakan awal guru pendidikan jasmani mengajukan permohonan agar
pendidikan jasmani dijadikan bagian dari salah satu aspek dalam kurikulum pengembangan karakter. Lebih lanjut dinyatakan olehnya bahwa pelayanan pendidikan jasmani yang disampaikan guru berkompeten dapat mempromosikan perkembangan afektif. Park (1983) menyatakan bahwa peluang mengajarkan nilai-nilai etika dan moral yang mempengaruhi perilaku siswa dapat dikembangkan melalui olahraga dan permainan. Dalam konteks ini, peran guru pendidikan jasmani perlu ditekankan agar dapat mengatasi masalah-masalah etika dan mengembangkan perilaku yang bertanggung jawab secara moral dalam olahraga.
Berdasarkan paparan sejarah singkat tersebut, jelas bahwa para pendidik sangat yakin salah satu tujuan pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, adalah menekankan hasil ranah afektif atau perkembangan karakter dalam kurikulumnya.
Berbagai penelitian terkini mendukung pendapat bahwa melalui pengelolaan pengalaman pendidikan jasmani dapat memfasilitasi terjadinya perkembangan karakter siswa (Gibbons, Ebbeck, & Weiss, 1995; Giebink & Mc-Kenzie, 1985; Miller, Bredemeier, & Shields, 1997). Pengembangan karakter dapat dilihat sebagai komponen perkembangan moral yang tidak mencakup konotasi keagamaan (Weinberg & Gould, 1995).
Pada tulisan ini, pengembangan karakter dan perkembangan moral akan digunakan
secara bergantian dan merujuk pada pengalaman proses kognitif seseorang ketika mengembangkan kemampuan yang terkait dengan isu-isu moral. Menurut Solomon dkk, (1990) dalam pendidikan jasmani, masalah moral yang timbul biasanya mencakup situasi di mana siswa ditantang mewujudkan adanya keseimbangan secara bersamaan antara hak dan tanggung jawab dirinya dengan hak dan tanggung jawab orang lain. Siswa menunjukkan perkembangan moral secara dewasa apabila memiliki kemauan dan kemampuan berjuang mencari keseimbangan antara kebutuhan diri dan kebutuhan lain.
Pengelolaan pendidikan jasmani menimbulkan berbagai situasi di mana siswa harus membuat keputusan tentang kebutuhan hak dirinya dengan hak dan tanggung jawab siswa lainnya. Kejadian ini sering timbul, maka guru harus menentukan strategi yang memadai untuk menangani isu-isu moral, dan pengembangan karakter siswa melalui pendidikan jasmani.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan jasmani dapat mengembangkan karakter telah memiliki sejarah panjang dan diyakini oleh para pendidik khususnya guru pendidikan jasmani. Meskipun bukti-bukti empirik sangat terbatas. Namun, pendidikan jasmani yang dikelola dengan baik dan ditangani oleh guru yang berkompeten dapat mengembangkan karakter. Jadi, peran guru pendidikan jasmani dalam mengembangkan karakter sangat strategis.


Peran Guru sebagai Model dalam Mengembangkan Karakter

Pentingnya mengembangkan karakter ditekankan dalam tujuan dan fungsi standar kompetensi nasional pendidikan jasmani sebagaimana yang tertuang dalam Kurikulum tahun 2004. Dua di antaranya menyatakan bahwa tujuan pendidikan jasmani, yaitu: (1) meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai dalam Pendidikan Jasmani; dan (2) mengembangkan sikap yang sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis melalui aktivitas jasmani (Departemen Pendidikan Nasional, 2003:6). Guru pendidikan jasmani dapat membantu siswa memenuhi standar tersebut dengan menekankan pentingnya karakter dan kebajikan moral. Ketika siswa sedang mempelajari dan melakukan berbagai aktivitas olahraga, guru harus menekankan bahwa mengejek orang lain, berbuat curang, dan kekerasan merupakan perilaku yang bertentangan dengan sportivitas dan kebajikan moral.
Dimediasi oleh berbagai aktivitas olahraga, seperti olahraga profesional, olahraga di kampus dan olahraga di sekolah, para siswa dan anak-anak remaja terus-menerus dibombardir oleh pentingnya kemenangan. Televisi melalui gambar visualnya mempromosikan berulang-ulang perilaku buruk seperti gol “Tangan Tuhan” Thierry Henry saat pertandingan Pra piala Dunia antara Prancis melawan Irlandia. Dalam keadaan ini para penonton, termasuk anak-anak remaja dan para siswa akan sangat mudah terpengaruh, upaya untuk mengurangi perilaku tidak sportif dan tindakan tidak etis lainnya menimbulkan pertanyaan. Apakah masih mengherankan, apabila kemudian siswa mentransfer keinginan kuat untuk menang melalui perilaku yang tidak dapat diterima secara moral?
Selain dalam konteks olahraga, media massa juga melaporkan tanpa henti perilaku dan tindakan aparat penegak hukum yang melanggar hukum seperti kasus Polisi Vs KPK yang dikenal dengan istilah “Cicak Vs Buaya”. Masyarakat, tua-muda, anak-anak membaca dan melihat ketidakjujuran, korupsi, berbohong, mencuri, dan kecurangan sebagai pilihan dan cara yang telah dilakukan banyak orang untuk maju dan mendapatkan kekayaan. Pelajaran yang tidak etis ini sering diadopsi para siswa dan anak-anak remaja yang percaya bahwa perilaku ini menjadi cara untuk menjalani kehidupan. Realitas ini sangat bertolak belakang dengan model pelajaran kebajikan moral dan karakter yang harus diperankan oleh guru kepada siswa.
Menurut Gough (1998) tujuan akhir dari pembangunan karakter terjadi apabila setiap orang mencapai titik di mana berbuat “baik” menjadi otomatis atau terbiasa. Seperti belajar keterampilan olahraga melalui praktek berkelanjutan, secara moral tindakan tepat menjadi alami dan konsisten. Para siswa perlu meniru guru yang jujur, bisa dipercaya, adil, hormat, dan bertanggung jawab dalam berbagai tindakannya. Solomon (1997:41) menyimpulkan penelitian terbaru mengenai pengembangan karakter melalui pendidikan jasmani menunjukkan bahwa aktivitas jasmani yang terorganisasi dengan baik dapat meningkatkan pertumbuhan moral yang positif.
Lebih jauh dinyatakan olehnya bahwa bukti menunjukkan, tanpa perkembangan karakter, proses pematangan moral tidak mungkin terjadi. Para guru pendidikan jasmani memiliki tanggung jawab dan kesempatan menciptakan situasi untuk meningkatkan perkembangan karakter siswa. Bangunan teoritis yang mendasari kajian dalam tulisan ini adalah guru dapat berperan dan berfungsi sebagai model dalam mengajar karakter dan kebajikan moral (Kohlberg, 1981; Lickona, 1991; Noddings, 1992). Bagian selanjutnya dalam tulisan ini akan diuraikan bahwa integritas adalah landasan nilai yang mencakup nilai-nilai kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab, serta menyediakan aplikasi yang dapat membimbing perilaku guru ketika berperan sebagai model pengajaran karakter dan kebajikan moral. Diharapkan melalui kajian bagian ini dapat memberikan rekomendasi bagaimana seharusnya guru berperan sebagai model berdasarkan karakter dan kebajikan moral sehingga dapat menumbuhkan penalaran moral
siswa.








































MEMBANGUN DASAR-DASAR INTEGRITAS GURU PENDIDIKAN JASMANI

Keteladanan hidup yang berbasis nilai adalah pemenuhan kewajiban dan kebenaran moral dengan karakter yang konsisten, atau integritas. Penjelasan ini benar-benar terlepas dari agama, budaya, ras, atau etnisitas. Seseorang dengan integritas perilaku yang saleh, seperti menjaga janji dan menahan diri untuk tidak berbohong, menipu, dan mencuri. Ketika berada di masyarakat, guru yang memiliki integritas dipandang sebagai model bagi suara moral para remaja untuk mengikutinya. Sebagai contoh, bagi guru pendidikan jasmani penting untuk menunjukkan integritas dengan mengajar fair play, sportivitas dan melayani dengan penuh keteladanan seperti menghargai semua siswa  dan memperlakukan setiap siswa dengan baik.
Model guru yang berintegritas adalah guru yang memilih untuk melakukan hal yang benar, sekalipun tidak ada orang lain yang melihatnya. Integritas berarti secara konsisten melakukan apa yang benar, sekalipun dihadapannya ada yang lebih mudah untuk melakukan sesuatu yang secara pribadi menguntungkan.
Guru yang berintegritas menunjukkan perilaku bertanggung jawab untuk menyediakan program akademik yang berkualitas dan pengalaman pendidikan yang positif. Orangtua, serta masyarakat umum, mengharapkan para guru mengajarkan karakter dan kebajikan moral yang dapat membantu membentuk siswa sehingga menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Pada diri guru ada tanggung jawab dan dipercayakan untuk membentuk sikap disiplin, keselamatan siswa sehingga pengaruh pengajaran dan potensi pembelajaran yang terjadi di sekolah akan mengubah hidup. Integritas seorang guru yang melekat padanya tidak lepas dari pengamatan siswa. Artinya, siswa akan mengevaluasi karakter guru didasarkan pada bagaimana cara guru memperlakukan dalam proses pembelajaran. Para siswa tahu kapan guru berkomitmen untuk mengajar yang mencakup aspek psikomotorik, kognitif, dan afektif, dan mengetahui bahwa guru sungguh peduli dapat dipercaya, jujur, dan hormat. Bagaimana para guru dapat melayani sebagai teladan dengan mengajar karakter dan nilai-nilai moral kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab. Di bawah ini akan diungkap lebih rinci nilai-nilai moral tersebut.

  1. Kejujuran
Guru menunjukkan kejujuran dengan menyatakan kebenaran dan bertindak dengan cara terhormat. Contoh kejujuran guru di antaranya, mematuhi kurikulum yang telah ditetapkan dan kebijakan dan peraturan daerah, mengelola keuangan sekolah dengan benar; dan mengevaluasi karya siswa yang didasarkan pada penilaian yang objektif dan terstruktur. Kejujuran, termasuk memenuhi janji-janji dan komitmen, seperti menjaga kerahasiaan catatan siswa. Kejujuran juga termasuk tidak berbohong, menipu, atau mencuri, seorang guru harus memenuhi tanggung jawab secara profesional apalagi yang sudah dapat tunjangan profesi.
Guru selayaknya tidak berhenti diskusi atau melakukan aktivitas yang menekankan untuk memperbaiki perilaku yang tidak jujur. Sebagai contoh, dalam permainan bolabasket, ketika bola menyentuh batas luar lapangan, guru dapat meminta siswa yang paling dekat dengan bola, “Siapa yang menyentuh bola sehingga ke luar?” Jika tidak ada yang merespon, permainan dihentikan.
Setelah memperkuat nilai kejujuran, guru dapat bertanya lagi “Yang jujur adalah dia yang mengakui menyentuh terakhir bola ke luar batas lapangan?” Guru dapat menjelaskan dan menunjukkan bahwa kejujuran berarti menyatakan yang sebenarnya tentang mengapa suatu tugas tidak disampaikan pada waktunya; kejujuran berarti menyelesaikan tugas tanpa menjiplak karya orang lain atau mengambil karya orang lain dari situs web; kejujuran berarti mengakui bahwa anda menyentuh bolavoli bersih selama permainan; kejujuran berarti bersikap jujur pada diri sendiri dalam upaya untuk belajar.
Sebagai teladan bagi siswa, guru secara konsisten menerima kewajiban moral untuk jujur, terlepas dari situasi apa pun. Kejujuran berfungsi sebagai prasyarat untuk percaya, keadilan, tumbuhnya rasa hormat, dan tanggung jawab.

  1. Kepercayaan
Kepercayaan adalah percaya pada orang lain yang berkembang setiap kali orang tersebut memenuhi janji dan komitmennya. Ketika seorang guru menetapkan dan menjunjung tinggi harapan seperti menyediakan dan memandu untuk tugas tertulis dan belajar siswa, siswa dapat mempercayai guru. Munculnya rasa saling percaya di antara guru dan siswa merupakan kunci keberhasilan pendidikan.
Kepercayaan akan mengganti kecemasan atau rasa takut menjadi keterbukaan. Ketika siswa percaya pada guru, maka yang tidak terhindarkan dari siswa adalah kesalahan yang dilakukannya akan berubah menjadi rasa takut sehingga kegagalan akan berubah menjadi kesempatan untuk belajar.
Sebagai contoh, guru dapat membangun kepercayaan dengan memberikan bantuan ketika seorang siswa belajar gerak senam yang sulit, seperti belajar bagaimana untuk berjalan di atas balok keseimbangan. Kepercayaan akan terjaga bila siswa tidak direndahkan karena kesulitan dalam belajarnya, melainkan guru harus menyediakan bantuan tambahan untuk memfasilitasi siswa belajar. Guru juga harus mendorong siswa untuk terus mencoba, dengan menyatakan, “Anda bisa melakukannya” atau “Anda sedang membuat kemajuan yang baik,” sampai menguasai keterampilan. Kepercayaan mengembangkan harapan siswa setiap kali bertemu dengan guru, dan menerima hadiah yang dijanjikan. Lalu siswa akan terus menunjukkan kepercayaan dengan mencoba untuk belajar agar terampil, bahkan setelah berkali-kali gagal karena telah memiliki keyakinan pada guru.
Menumbuhkan kepercayaan akan sangat efektif bila disampaikan saat membuka pelajaran. Ketika siswa percaya pada guru, maka siswa tidak akan khawatir dan menjadi malu selama di kelas, karena tahu bahwa kenakalan atau kesalahan akan ditangani secara individual. Kepercayaan akan terpelihara ketika siswa merasa bahwa guru mendengarkan perjuangannya yang terkait dengan hubungan interpersonal, masalah-masalah akademis, atau masalah pribadi. Kepercayaan ini juga didasarkan pada keyakinan bahwa ketika siswa menerima bantuan, percakapan akan diadakan sangat rahasia. Kepercayaan juga membangun kepercayaan diri siswa ketika belajar menggantungkan dirinya pada guru yang akan membantunya tumbuh dan berkembang.



  1. Keadilan
Keadilan berhubungan erat dengan kepercayaan sehingga siswa dapat dengan cepat belajar apakah mendapat perlakukan diskriminasi atau perlakukan secara tidak adil dari guru. Keadilan menuntut agar semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk memenuhi standar pada tes tertulis atau keterampilan dan menerima nilai yang sesuai. Kadang-kadang keadilan bisa berarti memperlakukan siswa berbeda karena itu merupakan hal yang tepat untuk dilakukan. Sebagai contoh, seorang guru dapat memilih untuk memberikan persentase penghargaan nilai perbaikan, yang didasarkan pada berapa banyak kemajuan telah dibuat siswa  dalam belajar keterampilan tertentu.
Dalam kasus ini, sang guru memberikan kesempatan yang sama kepada siswa untuk mendapatkan nilai yang baik dalam tes perbaikan, tapi karena individu memiliki kemampuan yang unik dan tingkat pengalaman yang berbeda, mungkin setiap siswa menerima nilai yang berbeda.
Guru harus menekankan pentingnya melatih pengendalian diri dan menahan diri ketika dihadapkan pada tindakan yang dianggap tidak sesuai. Siswa yang bertindak adil dan tidak adil akan menggertak orang lain. Jika gangguan terjadi, siswa harus diinstruksikan pada prinsip keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab sehingga akan tahu bagaimana harus bersikap lebih tepat terhadap orang lain.
Guru yang adil percaya pada kemampuan masing-masing siswa untuk belajar, dan mendorong setiap siswa untuk mencapai pada tingkat kemungkinan tertinggi. Guru adil ketika mereka memberi hukuman berat dan ringan yang sama kepada siswa yang melanggar kebijakan di ruang kelas atau di ruang olahraga. Salah satu cara agar guru dapat menunjukkan keadilan kepada siswa adalah dengan menunjukkan rasa hormat kepada setiap siswa sebagai individu yang unik.

  1. Hormat
Mengembangkan rasa hormat di masyarakat yang dikembangkan dalam  kelas sangat penting. Proses ini dimulai dengan cara guru menunjukkan rasa hormat terhadap siswa, tanpa memandang suku, ras, gender, status sosial ekonomi, atau karakteristik individu atau kemampuan. Guru harus luwes dalam menanggapi berbagai tingkat keterampilan dan kemampuan yang ditampilkan oleh siswa. Meskipun merupakan tantangan berat harus mengajar siswa dengan sedikit kemampuan bawaan. Namun, sebisa mungkin guru harus dapat meningkatkan kemampuan siswa tersebut secara optimal.
Noddings (1992) menganjurkan agar pendidikan moral didasarkan pada guru, dan guru harus menunjukkan kepedulian dan menyadari bahwa siswa adalah individu yang unik. Guru yang peduli dan menghormati siswanya menjadi sensitif dan penuh perhatian terhadap perasaan siswa. Kesopanan di dalam dan di luar kelas mengharuskan guru dan siswa menunjukkan rasa hormat dan peduli tentang orang lain. Penghormatan akan diperoleh dengan cara memperlakukan orang lain penuh hormat. Ketika para guru memperlakukan siswa dengan hormat, maka guru akan menerima penghargaan sebagai balasannya.

  1. Tanggung Jawab
Guru yang menunjukkan tanggung jawab adalah guru yang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan memenuhi tugas-tugasnya. Ketika guru menciptakan dan mempertahankan lingkungan belajar yang positif dan fokus pada penyediaan pelayanan pendidikan kepada siswa dan masyarakat, dapat dikatakan bertindak secara bertanggung jawab. Guru juga dikatakan bertindak secara bertanggung jawab apabila membantu secara optimal mengembangkan psikomotorik, kognitif, dan kemampuan afektif siswa. Mengadakan persiapan dengan baik untuk setiap kelas dan memberikan umpan balik yang cepat serta konstruktif kepada para siswa untuk membantu memfasilitasi proses pembelajaran juga merupakan guru yang bertanguung jawab. Menunjukkan pentingnya sebagai model dalam hal yang terkait dengan kesehatan, kebugaran fisik, gizi yang baik, dan tidak adanya penyalahgunaan narkoba adalah merupakan tanggung jawab guru.
Pendekatan pengajaran tanggung jawab melalui pendidikan jasmani dan olahraga yang dikembangkan oleh Hellison (2003) telah terbukti berhasil meningkatkan rasa tanggung jawab siswa. Hellison bekerja dengan remaja yang bermasalah dalam upaya membantu untuk belajar menghormati hak-hak dan perasaan orang lain, menunjukkan disiplin diri melalui partisipasi dan usaha membantu orang lain, dan kemudian untuk menerapkan perilaku-perilaku tersebut dalam aspek-aspek lain dalam kehidupan.
Dikatakan lebih lanjut olehnya bahwa guru dapat mendorong siswa untuk mengambil tanggung jawab pribadi dan sosial yang lebih besar dalam upayanya memperlakukan orang lain. Setiap kali seorang siswa gagal untuk menyelesaikan tugas atau bertingkah, guru dapat menggunakan kesempatan untuk mengajarkan para siswa menerima tanggung jawab untuk membuat pilihan yang salah dan membuat pilihan yang lebih baik di masa mendatang.
Sebagai contoh, jika siswa marah secara lisan atau secara fisik ketika dianiaya oleh orang lain, guru dapat membantu siswa tersebut belajar menahan diri dan pengendalian diri, yang menyebabkan lebih banyak tanggapan positif dan konstruktif. Dengan menunjukkan minat yang tulus pada semua siswa untuk memelihara hubungan baik di antara siswa, guru bertanggung jawab untuk mengenali para siswa secara personal. Hal ini akan mempermudah guru memahami tentang cara terbaik membantu setiap siswa untuk tumbuh dan berkembang.


MENGEMBANGKAN PENGAJARAN PENALARAN ALASAN MORAL
Titik awal untuk belajar alasan secara moral adalah mempelajari prinsip-prinsip moral. Prinsip merupakan aturan perilaku yang bersifat universal yang mengidentifikasi jenis tindakan, niat, dan motif-motif yang dihargai (Lumpkin, Stoll, & Beller, 2003). Prinsip-prinsip ini didasarkan pada nilai-nilai moral seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab. Dalam memutuskan apakah hal-hal seperti berbohong, mencuri, menipu, dan inkar janji merupakan tindakan yang prinsip, maka pada setiap individu bergerak melalui tiga tahapan penalaran proses moral. Tiga tahapan penalaran moral itu, yaitu: (1) fase pengetahuan moral, (2) fase perasaan moral; dan (3) fase bertindak secara moral.
Penalaran moral adalah proses sistematis untuk mengevaluasi kebajikan dan mengembangkan pribadi yang konsisten dan tidak memihak serangkaian prinsip-prinsip moral yang digunakan untuk hidup (Lumpkin, dkk., 2003).
Tahap pertama adalah pengetahuan moral, yang merupakan fase kognitif belajar tentang isu-isu moral dan bagaimana mengatasinya. Tahap kedua adalah menghargai atau perasaan moral, yang merupakan dasar dari apa yang diyakini tentang dirinya sendiri dan orang lain. Tahap ketiga adalah bertindak secara moral, yaitu bagaimana orang-orang bertindak secara nyata berdasarkan nilai dan apa yang diketahui.
Dalam mengajarkan proses penalaran moral, guru harus membantu siswa mempelajari perbedaan antara benar dan salah. Sangat mudah bagi siswa untuk merasionalisasikan tindakan-tindakan keliru dengan menyatakan, “Tidak ada aturan yang melarang itu,” “Semua orang lain juga melakukannya,” “Apa yang saya lakukan tidak etis tidak masalah, karena tidak ada seorang pun yang tahu,” atau “Situasi menyebabkan aku bertindak dengan cara ini”. Sangat penting bahwa guru mendidik untuk tidak merasionalisasikan prinsip perilaku siswa dan sebagai gantinya menggunakan proses penalaran moral ketika membuat keputusan.
Pernah suatu ketika seorang mahasiswa bertanya kepada penulis, pertanyaannya “kenapa dalam permainan bolabasket pemain bertahan menjelang detik-detik terakhir waktu pertandingan selalu diperintahkan pelatih untuk melanggar atau “mematikan” pemain lawan yang akan memasukan bola, terlebih diketahui bahwa pemain yang dilanggar tersebut jika melakukan tembakan bebas sebagai hadiah atas pelanggaran yang diterimanya selalu gagal”.
Mahasiswa tersebut merasa terganggu bahwa perilaku seperti itu diperbolehkan padahal tindakan pemain bertahan tersebut melanggar tujuan dari permainan. Banyak pemain dan pelatih merasionalisasi bahwa membuat pelanggaran terhadap lawan untuk menghentikan jam adalah etis demi tujuan taktis dan diperbolehkan dalam peraturan.
Sebaliknya, walaupun tidak ada aturan yang menyatakan bahwa menjatuhkan disengaja tidak dapat terjadi pada akhir permainan, apakah tindakan seperti itu tidak melanggar semangat aturan itu sendiri? Secara substantif, selama aktivitas kelas, dan dalam interaksi face to face dengan murid, guru harus terus-menerus menekankan bahwa mengetahui tentang moral menuntut orang tidak membenarkan tindakan yang salah dengan mencoba untuk membuat tampak benar. Sebagai contoh, bahkan jika hasil dari sebuah permainan bolabasket tergantung pada tim yang menguasai bola, seharusnya guru atau pelatih tidak membantu siswa untuk berbuat bohong dengan cara mempermainkan bola di luar batas!
Guru membantu siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai moral kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab melalui pemberian contoh atau model terus-menerus dan memperkuat apa yang benar dan baik. Sebagai contoh, ketika guru mengakui kesalahan siswa dan memperbaikinya, siswa akan menunjukkannya sendiri dan akan menerima konsekuensi dari tindakannya. Pemberian contoh moral seperti itu dapat membantu siswa belajar menghargai guru yang tidak hanya bicara tentang kebaikan, tetapi telah memasukkannya ke dalam tindakan sehari-hari.
Kadang-kadang tindakan moral membutuhkan keberanian dari seseorang untuk ke luar dari kerumunan orang-orang dan berdiri untuk berbeda. Guru perlu meningkatkan kemauan siswa agar membuat pilihan yang baik sekalipun dihadapkan dengan tekanan untuk bertindak tidak etis. Dalam sebuah kelas pendidikan jasmani, guru dapat memuji siswa yang mengakui menyentuh net (jaring) voli, ini adalah kesempatan untuk memperkuat bahwa membuat panggilan yang benar adalah hal yang tepat untuk dilakukan sekalipun berbeda dengan keinginan teman-teman seregunya. Guru juga dapat memberikan kesempatan bagi siswa menunjukkan komitmen untuk bertindak secara moral, seperti melaporkan sendiri skor yang diperoleh saat tes keterampilan.
Siswa yang menolak untuk menyontek pada ujian, berbohong tentang umur saat akan masuk nonton film, atau download musik dari internet yang dilindungi hak cipta, semua ini menunjukkan para siswa telah belajar bahwa kegiatan tersebut tidak dibenarkan secara moral.
Guru dapat membantu siswa belajar pentingnya mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, secara pribadi menilai apa yang benar, dan bertindak berdasarkan pada pengetahuan dan menghargai. Stoll dan Beller (1998:21) menekankan, penalaran moral tidak menjanjikan perubahan perilaku, tetapi merupakan komitmen pencarian jiwa individu dan refleksi pribadi atas kepercayaan, nilai, dan prinsip-prinsip. Tanpa proses ini, pertumbuhan pengetahuan moral tidak akan meningkat, perubahan perilaku tidak akan pernah terjadi, dan potensial untuk konsisten dalam tindakan moral menjadi lebih sedikit dari proporsi yang seharusnya.



PENUTUP
Seorang guru yang akan mengembangkan karakter siswa harus menunjukkan bahwa integritas adalah hal yang paling berharga. Guru terlebih dahulu harus berperan sebagai model untuk menyatakan kebenaran, menghormati orang lain, menerima dan memenuhi tanggung jawab, bermain jujur, mengembalikan kepercayaan, dan menjalani kehidupan yang bermoral. Guru harus berperan sebagai model akan pentingnya keterlibatan dalam sebuah pencarian kebenaran yang akan berlangsung seumur hidup sehingga dapat melakukan sesuatu yang benar tidak mudah melakukan sesuatu tindakan yang salah.
Guru sebagai pendidik karakter harus mengajar murid-muridnya sebagai  individu-individu yang dapat membuat keputusan berdasarkan proses dan prinsip penalaran moral. Dengan cara membantu para siswa untuk mengetahui tentang apa itu nilai-nilai, percaya pada nilai-nilai sebagai bagian integral dari kehidupannya, dan menjalani kehidupannya sesuai dengan niali-nilai tersebut.
Guru dapat memainkan peran penting dalam membantu siswa belajar dan menerapkan proses penalaran moral. Pelajaran di dalam kelas dan melalui interaksi guru-murid di luar kelas harus didasarkan pada kebajikan. Integritas, kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab harus menjadi ciri khas guru dalam hubungannya dengan siswa. Dalam rangka mengembangkan karakter siswa dapat dilakukan melalui pegembangan sikap saling percaya, memelihara saling percaya dan mengembangkan rasa hormat di antara siswa, memperlakukan orang lain dengan penuh hormat dan percaya pada martabat yang melekat pada setiap orang, serta melaksanakan tanggung jawab sebagai guru dengan cara-cara bertanggung jawab secara moral.


UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel kecil ini lahir karena kontribusi berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada Dewan Redaktur Jurnal Cakrawala Pendidikan UNY yang telah memberi kontribusi untuk menyempurnakan artikel ini. Selain itu, juga kepada staf pelaksana CP yang telah bersusah-payah sehingga jurnal ini terbit tepat waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Depdiknas.
Gibbons, S., Ebbeck, V., & Weiss, M. 1995. “Fair Play for Kids: Effects on the Moral Development of Children in Physical Education”. Research Quarterly for Exercise and Sport. 66, 247-255.
Giebink, M., & McKenzie, T. 1985. “Teaching Sportsmanship in Physical Education and Recreation: An Analysis of Interventions and Generalizations Effects”. Journal of Teaching in Physical Education. 4, 167-177.

Gough, R. W. 1998. “A Practical Strategy for Emphasizing Character Development in Sport and Physical Educatio”. Journal of Physical Education, Recreation & Danc. 69(2), 18-20, 23.

Hellison, D. 2003. Teaching Responsibility through Physical Activity (2nd ed.). Champaign, IL: Human Kinetics.

Josephson Institute of Ethics. 2006. The Ethics of American Youth. http:- //www.josephsoninstitute. org/- reportcard/. Diakses pada Tanggal 25 Desember 2009.

Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY Koesoema, Doni, A. 2009. Desain Besar Pendidikan. Kompas, 1 Desember 2009, halaman 6.

_______. 2009. Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.

Kompas, Jumat, 15 Januari 2010. Pendidikan Abaikan Karakter. Halaman 12.

Lickona, T. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam.

Lumpkin, A., Stoll, S. K., & Beller, |. M. 2003. Sport Ethics: Applications for Fair Play (3rd ed.). Boston: Mc- Graw-Hill.
Miller, S., Bredemeier, B. J., & Shields; D. 1997. “Sociomoral Education Through Physical Education with Atrisk Children”. Quest. 49, 114- 129.
Mondale, S., & Patton, S. B. (Eds.). 2001. School-The Story of American Public Education. Boston: Beacon.
Mulkey, Y. J. 1997. “The History of Character Education”. Journal of Physical Education, Recreation & Dance. 68(9), 35-37.
Noddings, N. 1992. The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. New York: Teachers College.
Solomon, G. 1997. “Does Physical Education Affect Character Development In students?” Journal of Physical Education, Recreation & Dance. 68(9), 38-41.
Stoll, S. K., & Beller, J. M. 1998. Can Character be Measured? Journal of Physical Education, Recreation & Dance. 69(1), 19-24.